Ada
banyak amal kebajikan yang mendapatkan doa dari malaikat. Salah satu
amal kesayangan Rasulullah saw. yang sangat diagungkan para malaikat
sehingga mengundang doa-doa dan perhatian mereka adalah shalat
berjamaah. Tidak sekadar shalat berjamaahnya saja, tetapi juga
aspek-aspek lain dari shalat berjamaah tersebut, mulai dari bersegera
pergi ke masjid ketika azan berkumandang, saat menunggu waktu shalat,
saat berada di shaf terdepan, ketika kita menyambungkan shaf dengan
mengisi tempat yang kosong di dalam shaf, berdiam diri di tempat shalat
setelah shalat untuk berzikir dan berdoa, termasuk pula ketika kita
mengaminkan bacaan Al Fâtihah yang dikeraskan oleh imam. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
“Jika
seorang imam membaca ‘ghairil ûmaghdhûbi ‘alaihim waladh dhâllîn’, maka
ucapkanlah oleh kalian ‘âmîn’, karena barang siapa ucapannya itu
bertepatan dengan ucapan malaikat, dia akan diampuni dosanya yang masa
lalu.” (HR Bukhari dari Abu Hurairah)
Mengapa ada malaikat dan pengampunan dosa dalam ucapan âmîn
setelah imam membaca Al Fâtihah ketika shalat berjamaah? Hal ini boleh
jadi berkaitan erat dengan keutamaan Surat Al Fâtihah itu sendiri. Ada
banyak bacaan dalam shalat, akan tetapi bacaan Al Fâtihah-lah yang
keutamaannya secara eksplisit disebutkan di dalamnya, yaitu bahwa Allah
Swt. akan mengampuni dosa seorang jamaah shalat ketika bacaan “âmîn”-nya bersamaan dengan bacaan “âmîn” para malaikat yang menyaksikan shalat berjamaah tersebut.
Al Fâtihah adalah surat yang sangat istimewa dan diagungkan oleh Nabi saw. Beliau pernah bersabda sebagai berikut.
“Ketahuilah,
aku akan mengajarkan kepada kalian satu surah yang paling agung di
dalam Al Qur’an Al Karim. Dia adalah Alhamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn, dia
adalah tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam Al Qur’an yang agung.” (HR Bukhari)
Ibnu
Abbas meriwayatkan pula sebuah hadits, “Ketika Jibril duduk di samping
Rasulullah saw., dia mendengarkan seruan dari atas, kemudian dia
mengangkat kepalanya seraya berkata, ’Pintu langit telah terbuka,
padahal sebelum hari ini pintu itu sama sekali tidak pernah terbuka.
Lalu, ada satu malaikat yang turun ke bumi melalui pintu itu, padahal
sebelumnya tidak ada malaikat yang turun darinya. Kemudian malaikat itu
mengucapkan salam kepada Nabi, ‘Aku membawa kabar gembira berupa dua
cahaya yang belum pernah diberikan kepada nabi sebelum dirimu, yaitu
Surat Al Fâtihah dan ayat-ayat terakhir Surat Al Baqarah. Setiap kali
engkau membaca ayat-ayat itu, niscaya engkau akan dikaruniai cahaya
tersebut’.”
Keistimewaan
Al Fâtihah ini dapat dilihat dari banyaknya nama yang dimilikinya,
yaitu sekitar 35 nama. Sebagian di antaranya adalah: Ummul Kitaab (Induk Al Qur’an), Al Asaas (Asas Segala Sesuatu), Al Kanz (Perbendaharaan), Ar Ruqyah (Mantera), Al Hamd (Pujian), Asy Syukr (Syukur), Asy Syaafiyah (Penyembuhan), Al Kaafiyah (Yang Mencukupi), As Sab’ul Matsaani (Yang Diulang-Ulang), Ad Du’a atau Ash Shalaah
(Doa). Tidak ada satu pun surat dalam Al Qur’an yang memiliki nama
sebanyak Al Fâtihah. Hal ini membuktikan ada banyak keutamaan, fadhilah,
manfaat, keuntungan yang bisa kita dapatkan dari surat ini. Sebab,
setiap satu nama mewakili minimal satu keutamaan.
Ada
argumen menarik dari ahli tafsir generasi thabi’in, yaitu Muhammad Al
Biqa’i, tentang keagungan Al Fâtihah yang tercermin dari nama-nama yang
disandangnya. ”Semua nama-nama itu mengandung dan berkisar tentang
sesuatu yang tersembunyi, yang dapat mencukupi segala kebutuhan, yaitu
pengawasan melekat dari Allah Azza wa Jalla. Segala sesuatu
yang tidak dapat dibuka, tidak akan memberi nilai. Al Fâtihah adalah
pembuka segala kebaikan, asas segala yang ma’ruf, shalat tidak dinilai
sah kecuali jika ia dibaca diulang-ulang di dalamnya. Dia adalah
perbendaharaan menyangkut segala sesuatu. Dia menyembuhkan segala
penyakit, mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahan,
melindunginya dari segala keburukan dan menjadi mantera dalam segala
kesulitan. Surat inilah yang yang merupakan ketetapan bagi pujian yang
mencakup segala sifat kesempurnaan dan kesyukuran yang mengandung
pengagungan kepada Allah, Zat Pemberi Nikmat. Dia pula yang menjadi inti
doa, karena doa adalah menghadapkan diri kepada-Nya, sedangkan doa yang
teragung tersimpul di dalam hakikat shalat.” (Quraish Shihab, 2005:
249-250)
Sungguh
tepat apa yang digambarkan Muhammad Al Biqa’i tentang keutamaan Al
Fâtihah ini. Perintah Allah Swt. agar kita mengulang-ulang Al Fâtihah
dalam shalat sudah menjadi sebuah jaminan akan keistimewaannya, sehingga
tidak ada satu pun surat yang sedemikian sering dibaca selain Al
Fâtihah. Jika sehari semalam saja minimal 17 kali kita membaca Al
Fâtihah, maka dalam seminggu kita sudah membaca 119 kali, sebulan
membaca 476 kali, dan setahun 5712 kali. Luar biasa! Dalam lima tahun
saja, minimal kita membaca 28.560 kali. Itu baru dalam shalat yang lima
waktu. Jumlah ini akan bertambah jika kita menghitung bacaan Al Fâtihah
dalam shalat sunnah, dalam acara syukuran, dan sebagainya.
Dari sekian banyak nama Al Fâtihah, ada satu nama yang sangat relevan dengan pembahasan kita kali ini, yaitu Al Fâtihah sebagai Ad Du’a
atau Surat Doa. Mengapa dinamai Surat Doa? Jika kita perhatikan, dalam
QS Al Fâtihah, di mana setelah kata basmalah dan sebelum bermohon, kita
dianjurkan untuk memuji Allah dengan mengucapkan hamdalah, dilanjutkan
dengan menyebut beberapa sifat dan perbuatan Allah yang terpuji. Baru
kemudian bermohon dengan kalimat “Ihdinash Shirâthal Mustaqîm.”
Sebagai
doa teragung, sangat wajar apabila Allah Swt. menjadikan Al Fâtihah
sebagai bacaan wajib di dalam shalat. Ketika seorang Muslim membaca Al
Fâtihah sepenuh penghayatan, ketika itu pula terjadi dialog yang sangat
indah antara dia dengan Allah Swt. Dialog ini tergambar dalam sebuah
hadits qudsi sebagai berikut.
Allah Azza wa Jalla
berfirman, “Aku membagi shalat di antara Aku dengan hamba-Ku menjadi
dua bagian, dan hamba-Ku boleh meminta apa saja yang dia mau. Ketika dia
mengucapkan “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam (Alhamdulillâhi Rabbil Âlamin)”, maka Allah Swt. menjawab, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Ketika dia mengucapkan, “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (Ar Rahmân Ar Rahîm),”
maka Allah Swt. menjawab, “Hamba-Ku telah memberikan pujian kepada
Diri-Ku.” Ketika dia mengucapkan, “Raja yang menguasai hari pembalasan (Mâliki yaumiddîn),”
maka Allah Swt. menjawab, “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku”. Ketika dia
mengucapkan, “Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada
Engkau-lah kami memohon pertolongan (Iyyaka na’budû wa iyyaka nasta’în),”
maka Allah Swt. menjawab, “Inilah saatnya hamba-Ku menyampaikan
permintaan dan Aku harus mengabulkannya.” Ketika dia mengucapkan,
“Tunjukilah aku ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula
jalannya orang-orang yang sesat (Ihdina shirathal mustaqîm, shirathal ladzîna an’amta ‘alaihim ghairail maghdhûbi ‘alaihim waladzhâllîn),”
Allah Swt. pun menjawab, “Inilah saat yang dimiliki oleh hamba-Ku dan
Aku harus mengabulkan permintaannya’.” (HR Muslim, Abu Daud, dan At
Tirmidzi)
Saudaraku
yang dicintai Allah, kebahagiaan seperti apa yang bisa menandingi
kebahagiaan ketika kita yang hina dina ini bisa berdialog dengan Allah
Swt., Zat Pemilik Alam Semesta? Tidak tanggung-tanggung, Dia memberi
kita kesempatan minimal 17 kali sehari untuk berdialog dengan-Nya
melalui Al Fâtihah; surat teragung dalam Al Qur’an. Dan, dalam setiap
kesempatan itu pula Allah Swt. memberikan janji berupa pengabulan dari
apa yang diucapkan seorang hamba melalui Al Fâtihah itu.
Oleh
karena itu, dengan melihat keutamaan Al Fâtihah dan keindahan doa yang
ada di dalamnya, sangat pantas apabila para malaikat mengaminkan bacaan
Al Fâtihah dalam shalat berjamaah, dan Allah menjanjikan ampunan bagi
mereka yang ikut mengaminkan bacaan tersebut. Jika saja kita bisa
memahami dan menghayati realitas ini, tidak mungkin bagi kita untuk
membaca Al Fâtihah seenaknya, tanpa perhatian, dan tanpa perasaan
apa-apa. Dengan memahami hal ini, kita pun tidak akan rela kalau kita
sampai tidak ikut shalat berjamaah di masjid atau ketinggalan bacaan Al
Fâtihah dari imam.
“Ketahuilah, semua rahasia suci—firman Allah yang disampaikan kepada manusia dalam seratus catatan kitab suci masa silam, Zabur, Taurat, Injil— terangkum dalam Al Qur’an. Keseluruhan Al Qur’an terangkum dalam Al Fâtihah. Keseluruhan Al Fâtihah tercakup dalam ayat permulaan (basmalah) Hakikat segala sesuatu tercakup dalam yang awal di antara yang awal, huruf pertama, Bâ’, yang berisi: bi kâna mâ kana wa bi yakûn mâ yakûn (Apa pun yang menjadi, menjadi melalui Aku, dan apa pun yang akan menjadi, akan menjadi melalui Aku)
Hakikat tertinggi berada pada titik di bawah huruf Bâ’. Dan, ketahuilah bahwa al ’ilm nuqthaun (semua pengetahuan adalah sebuah titik) ”
— Syihabuddin Yahya Al Suhrawardi —