Wanita Sebagai Ratu Rumah Tangga dan Sekaligus Harapan Menjadi Bidadari di Surga
Rasulullah saw. bersabda,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Al Bukhari )
Penilaian Terhadap Hadits
Hadits shahih diriwayatkan Al Bukhari dalam baabul jum’ah fil qura wal mudun (853)
Kilas Penjelasan
Allah telah menetapkan manusia
sebagai khalifah di muka bumi dan menganugerahkan kepadanya bakat dan
potensi kepemimpinan untuk memudahkan tugas-tugas kekhilafahan yang
diembankan kepadanya. Tugas kekhilafahan yang sangat berat ini tidak
akan mampu dipikul oleh manusia tanpa kerja sama, koordinasi, dan
distribusi kepemimpinan yang baik di antara mereka. Karenanya, dalam
hadits ini Rasulullah saw. menandaskan bahwa wilayah kepemimpinan wanita
adalah keluarga dan rumah tangga suaminya, sedang wilayah kepemimpinan
laki-laki berada di luar rumah.
Nilai-Nilai Kewanitaan
- Potensi kepemimpinan pada diri wanita
“Dan seorang wanita adalah pemimpin”.
Penggalan hadits ini menegaskan bahwa wanita berhak menjadi seorang
pemimpin dan tidak harus selalu berada di belakang sebagai obyek
kepemimpinan. Hal itu karena wanita juga memiliki potensi kepemimpinan
sebagaimana yang dimiliki kaum lelaki meski dengan porsi yang berbeda.
Rasulullah saw. bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
- Wilayah kepemimpinan wanita
“Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya”.
Penggalan hadits ini menunjukkan bahwa wilayah kepemimpinan wanita
adalah rumah tangga yang dibangun bersama suaminya. Hal ini tidak
menafikan kepemimpinan seorang wanita di luar rumah selama ia memenuhi
syarat-syaratnya. Imam Ibnu Hajar berkata, “Kepemimpinan wanita dibatasi
dengan “rumah” karena pada umumnya wanita tidak dapat berkiprah di luar
rumah kecuali dengan izin khusus.” (Fathul Bari/5/181). Di antara
syarat-syarat itu adalah:
- Izin dari suaminya
Karena seorang wanita tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin dari suaminya. Rasulullah saw. bersabda,
مَا لامْرَأَةٍ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا (رواه الطبراني)
“Tidak boleh bagi seorang wanita keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin dari suaminya,” (HR Ath Thabrani)
- Tidak melalaikan tugas-tugas kepemimpinan dalam rumah
Karena tugas-tugas kepemimpinan di rumah hukumnya adalah wajib sedang kepemimpinan di luar rumah adalah ja’iz (boleh). Tentu saja sesuatu yang ja’iz tidak boleh mengalahkan yang wajib.
- Memiliki keahlian dan kelayakan untuk mengemban amanah kepemimpinan yang dibebankan kepadanya
Seorang wanita hendaknya memiliki
kemampuan dan kelayakan untuk menjadi pemimpin sehingga dapat menunaikan
amanah kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Karenanya, ketika Abu Dzar
ra. meminta untuk diangkat sebagai pemimpin, Rasulullah saw. bersabda
kepadanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ
ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ
وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
فِيهَا (رواه مسلم)
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu
adalah seorang yang lemah, sedang kepemimpinan adalah amanah, dan
kepemimpinan ini akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat,
kecuali bagi orang yang mengembannya dengan hak-haknya dan menunaikan
kewajiban-kewajibannya.” (HR Muslim
- Tidak mengemban amanat kepemimpinan yang secara khusus menjadi hak kaum laki-laki
Terlepas dari khilaf yang ada,
sepatutnya wanita tidak mengemban amanah kepemimpinan yang menurut
mayoritas ulama menjadi hak kaum laki-laki. Di antaranya adalah kepala
negara. Diriwayatkan bahwa ketika mendengar berita pengangkatan anak putri Kisra sebagai pemimpin negara Parsi sepeninggal ayahnya, Rasulullah saw. bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخاري)
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin mereka.” (HR Al Bukhari
- Obyek dan tanggung jawab kepemimpinan wanita
“Dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya“.
Penggalan hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita akan dimintai
tanggung jawab atas kepemimpinannya di rumah suaminya. Sedangkan obyek
kepemimpinan yang menjadi tanggung jawab wanita meliputi dua aspek:
semua anggota keluarga dan urusan internal rumah tangga.
- Mengelola semua anggota keluarga sebagai sebuah tim
Tanggung jawab ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أهل بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“Seorang wanita menjadi pemimpin (pengelola) semua anggota keluarga suaminya dan anak-anaknya serta bertanggung jawab atas mereka.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu,-sebagai ratu rumah
tangga-seorang wanita harus mampu mengelola semua anggota keluarganya
dengan baik sehingga tercipta pola hubungan yang harmonis, konstruktif,
dan produktif. Sebagai buahnya mereka dengan penuh kesadaran dan
keridhaan senantiasa mendukung semua kebijakan dan tindakan positif
yang digulirkannya. Di antara bentuk dukungan itu adalah:
- Memberikan izin dan restu ketika hendak melakukan sesuatu yang membutuhkan izin dari suami atau walinya.
Seorang wanita harus mampu
mengondisikan semua anggota keluarga sehingga ia mendapatkan izin dari
mereka untuk melaksanakan berbagai proyek kebaikan yang membutuhkan izin
dari mereka, di antaranya adalah izin dari suami. Rasulullah saw.
bersabda,
لاَ تَصُمْ الْمَرْأَةُ
وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ
شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ
أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
“Janganlah seorang wanita berpuasa
sedang suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya. Janganlah dia
menerima tamu lelaki di rumah suaminya sedang dia berada di rumah
kecuali dengan izinnya. Harta apa pun yang disedekahkannya dari hasil
kerja suaminya tanpa perintah dari suaminya, maka separuh pahala sedekah itu untuk suaminya.’” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Izin dari wali atau muhrimnya. Rasulullah saw. bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ )
“Siapapun wanita yang menikah tanpa
izin dari walinya, maka pernikahannya adalah batil, pernikahannya adalah
batil.’” (HR At Tirmidzi
- Membantu menuntaskan berbagai urusan keluarga.
Dia juga harus mampu mengondisikan
mereka agar dengan suka cita melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga
yang kadang tidak mampu dilakukannya sendiri seperti mengurus anak,
mencuci baju, membersihkan alat-alat dapur, dan melakukan pekerjaan
rumah tangga lainnya, baik ketika diminta maupun tanpa diminta oleh
istrinya. Aisyah ra. berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ
الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah saw. senantiasa melayani
keluarganya, maka apabila datang waktu shalat, beliau keluar untuk
melakukan shalat.” (HR Al Bukhari dan Ahmad)
- Ikut berpartisipasi dalam proyek kebaikan yang digulirkannya.
Dia juga harus mampu mengondisikan
mereka agar mau berpartisipasi dalam proyek kebaikan yang mengharuskan
adanya partisipasi dari mereka. Seperti ketika seorang wanita dituntut
untuk bepergian demi menyukseskan proyeknya. Rasulullah saw. bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ
تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ
ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا
أَوْ زَوْجُهَا أَوْ ابْنُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
“Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian selama tiga hari atau
lebih kecuali ditemani ayahnya, saudara lelakinya, suaminya, anak lelakinya, atau muhrimnya.” (HR At Tirmidzi)
Atau ketika harus menyambut tamu laki-laki yang bukan muhrimnya. Rasulullah saw. bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ (رواه مسلم)
“Janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali ditemani oleh muhrimnya.” (HR Muslim)
- Menata semua urusan internal rumah tangga
Di samping mengelola sumber daya
manusia, seorang wanita bertanggung jawab untuk mengelola berbagai
urusan internal rumah tangga. Rasulullah saw. bersabda,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ (رواه البخاري ومسلم)
“Seorang wanita menjadi pemimpin (pengelola semua urusan) rumah tangga suaminya dan anak-anaknya serta bertanggung jawab atas mereka.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, dia harus mampu
mengelola semua urusan yang menjadi tanggung jawabnya sehingga menjadi
wanita saleh yang disegani, dihormati, dan dicintai oleh seluruh anggota
keluarganya. Rasulullah saw. bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ
مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا
سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah kamu aku beritahu tentang
harta terbaik yang seharusnya disimpan oleh seorang hamba? Dialah wanita
saleh, yang membahagiakan ketika dipandang, yang menaati ketika
diperintah, dan menjaga hak-hak suaminya ketika ditinggalkan.” (HR Abu
Dawud)
0 komentar:
Posting Komentar