Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa barang siapa yang ketika sakaratul mautnya mengucapkan kalimat thayyibah, lâ ilâha illalâhu, niscaya dia akan masuk surga. Semudah itukah?
Suatu hari,
salah seorang tetangga saya sakit keras. Ketika saya menjenguk ke sana,
kondisinya semakin memburuk. Dia memasuki kondisi kritis. Anak,
istri, cucu, dan semua saudaranya sudah berkumpul. Sebagian ada yang
menangis karena sadar bahwa tidak lama lagi orang tua mereka akan
meninggalkan dunia untuk selamanya. Seorang ustaz segera memimpin
orang-orang untuk membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an. Dia sendiri
membacakan doa-doa talkin dan membimbing si sakit untuk mengucapkan
kata-kata tahlil. Anehnya, walaupun dibacakan kalimat thayyibah
berkali-kali, si sakit tetap saja sulit mengulang kata-kata yang
sebenarnya sangat mudah untuk diucapkan. Sampai akhirnya maut menjelang,
dia tidak juga kunjung mengucapkan kata-kata “pembuka pintu surga”
tersebut.
Ada kisah lain,
saya mendengarnya dari seorang ustaz, bahwa ada seorang pria kaya yang
tengah sakit keras. Detik-detik menuju pintu kematiannya pun seakan
semakin dekat, istri, anak, cucu, dan keluarganya sudah berkumpul di dekatnya. Dia pun dibimbing untuk mengucapkan kalimat lâ ilâha illalâhu.
Namun aneh, menjelang kematiannya, yang dia ucapkan malah nama beberapa
orang wanita yang tidak dikenal oleh keluarga itu. Bapak itu pun
meninggal tanpa sempat mengulang kata-kata tahlil yang dibacakan di
telinganya. Usut punya usut, ternyata nama-nama yang disebutkan dalam
proses sakaratul mautnya itu adalah nama-nama wanita simpanannya. Na’ûzubillâhi min dzâlik. Saat kematian menjadi saat terbukanya perselingkuhannya dengan beberapa wanita muda.
Berdasarkan dua kisah ini, tampak bahwa mengucapkan kalimat thayyibah
pada akhir kehidupan bukanlah hal yang mudah dilakukan. Kalimat
tersebut akan menjadi mudah diucapkan apabila kalimat tersebut telah
menjadi sumber energi dan orientasi dalam hidupnya. Sejatinya, kata-kata
pada akhir kematian adalah cerminan dari orientasi hidupnya selama di
dunia. Dengan demikian, proses panjang yang bisa menjadi penyebab akhir
kematian seseorang adalah zikir. Kecil kemungkinan bagi seorang yang
sehari-harinya bergumul dengan kemaksiatan akan menutup hidupnya dengan
zikir. Kalau orientasi hidupnya adalah harta, pangkat, jabatan,
kenikmatan seks, dan dia belum sempat berpaling kepada Allah Swt.,
itulah yang akan dia ucapkan saat kematiannya. Bahkan, boleh jadi dia
akan mati ketika mengejar-ngejar kenikmatan duniawi itu.
Lain halnya dengan manusia yang orientasi hidupnya lâ ilâha illalâhu,
menjadikan semua perbuatannya berorientasi kepada kalimat mulia
tersebut. Jangan heran apabila kata-kata pada akhir kehidupan manusia
seperti itu adalah lâ ilâha illalâhu. Allah Swt. pun berkenan memasukkannya ke dalam surga sebagaimana dijanjikan Rasulullah saw. dalam haditsnya.
Menjenguk orang
sakit, terlebih orang yang sakitnya sudah dalam tahap kritis, akan
mampu menyadarkan kita akan orientasi kehidupan kita selama ini. Apakah
kita telah benar-benar meniti jalan Allah sebagai orientasi hidup kita
ataukah kemewahan duniawi yang lebih kita pentingkan? Hal ini sangat
penting kita renungkan sebab apa pun yang kita miliki di dunia ini
menjadi tidak berharga apabila akhir kematian kita adalah su’ul khatimah.
Sebanyak apa pun perbendaharaan duniawi yang kita kumpulkan tidak akan
mampu menolong kita tatkala sakaratul maut datang. Selain itu, tidak
selamanya manusia itu sehat, jaya, kaya, kuat, dan memiliki kekuasaan.
Akan tiba suatu hari ketika kita tidak bisa apa-apa lagi, ketika kita
terbujur menunggu ajal.
Dengan melayat
orang sakit, sekali lagi, kita seakan diingatkan untuk memanfaatkan
semua yang kita punya sebagai sarana ibadah kepada-Nya dan melakukan
reorientasi kehidupan kita dari berorientasi pada kesenangan dunia
menjadi berorientasi pada keridhaan Allah. Di sinilah urgensi hadits
Rasulullah saw. bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang
senantiasa mengingat mati dan dia mempersiapkan diri sebaik mungkin
untuk menyongsong kematiannya itu.
“Ingatlah engkau akan perkara-perkara yang zahirnya adalah keutamaan dan batinnya adalah kewajiban: bergaul dengan orang saleh adalah keutamaan dan mengikuti jejak langkahnya adalah kewajiban. Membaca Al Qur’an adalah keutamaan dan mengamalkan isinya adalah kewajiban. Ziarah kubur adalah keutamaan dan menyiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati adalah kewajiban. Menengok orang sakit adalah keutamaan dan berwasiat (pada akhir hayat) adalah suatu kewajiban.”
— Utsman bin Affan —
2 komentar:
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Posting Komentar